Perempuan tidak semestinya ditempatkan pada pilihan bekerja atau menjadi ibu rumah tangga. Perempuan memiliki hak sepenuhnya untuk mampu menjalani multi peran sebagai ibu, individu, makhluk sosial, termasuk di dalamnya sebagai pekerja. Apalagi, jika secara individu perempuan memiliki kompetensi dan talenta yang setara dengan pria dalam merintis karir, kesempatan untuk bersaing dengan para pria di dunia kerja semakin terbuka lebar. Yang menjadi persoalan, terkadang multi peran pekerja perempuan yang juga bertanggung jawab sebagai seorang istri, ibu dan individu ini belum mendapatkan dukungan sepenuhnya dari perusahaan. Apakah perusahaan sudah memiliki kebijakan yang ramah bagi perempuan bekerja?
Perlu Kesadaran Bersama untuk Menerapkan Kebijakan yang Ramah Perempuan
Dilema yang seringkali melanda banyak perempuan bekerja disebabkan perempuan ingin menjalankan multi perannya secara maksimal, namun terkadang perusahaan belum mendukung para perempuan untuk leluasa bekerja. Oleh karena itu, kebijakan yang ramah perempuan perlu diterapkan oleh perusahaan. Prinsipnya mendukung perempuan bekerja agar tetap mampu mengaktualisasi diri tanpa meninggalkan perannya sebagai ibu yang juga kalah pentingnya. Sayangnya, di Indonesia belum banyak perusahaan yang menerapkan kebijakan yang ramah bagi perempuan bekerja. Misalnya dengan menyediakan ruang penitipan anak atau ruang menyusui di tempat bekerja.
Banyak perusahaan yang belum menyadari perlunya menyediakan fasilitas yang mendukung bagi perempuan bekerja. Menurut Maria Dewantini Dwianto, Head of Corporate Communications PT Unilever Indonesia Tbk, penyediaan fasilitas seperti ruang menyusui masih dilihat perusahaan sebagai cost,bukan investasi. Padahal penerapan kebijakan yang mendukung peran dan “keistimewaan” perempuan ini merupakan modal bagi perusahaan untuk membangun loyalitas karyawan. Di sisi lain, Tara Hidayat, Deputi IV Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan menyatakan bahwa banyak perempuan bekerja yang belum menunjukkan urgensi kebutuhan kantor ramah perempuan karena adanya budaya menitipkan anak pada keluarga atau pengasuh anak. “Banyak perempuan Indonesia yang masih sangat bergantung pada keluarga, seperti menitipkan anak pada nenek, kakek, kakak, adik juga pada pengasuh anak. Berbeda dengan perempuan di luar negeri yang terlihat lebih independen”, paparnya. Sehingga perusahaan pun tidak menyadari kebutuhan untuk mengakomodasi para pekerja perempuan di kantor mereka.
Diperlukan pemahaman, baik bagi perusahaan maupun perempuan itu sendiri, bahwa perempuan, setelah menikah bukan berarti tidak lagi produktif. Perempuan tetap mampu berkarya, berkontribusi bagi perusahaan dan sebaliknya perusahaan juga berhak mendukung serta memfasilitasinya. Pada prinsipnya adalah hubungan timbal balik. Menurut Emma Aliudin, Editor in Chief Chic Magazine, perusahaan memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap pekerja. Dan sebaliknya pekerja juga memiliki hak dan tanggung jawab terhadap perusahaan. Kedua pihak ini harus memiliki komitmen untuk menjalankan tanggung jawab masing-masing dan memberi kontribusi yang maksimal untuk mencapai tujuan bersama. “Perempuan memiliki ‘keistimewaan’ seperti haid, mengandung dan mereka mendapatkan hak tambahan untuk itu. Tapi mestinya, keistimewaan ini tidak dijadikan pembenaran atau pemakluman untuk bekerja di bawah standar yang diharapkan”, papar Emma ketika dihubungi melalui email. Meskipun secara hukum para pekerja wanita dilindungi oleh Undang-Undang, tapi bagaimanapun di dunia kerja yang dibutuhkan adalah sikap profesional, jadi keistimewaan perempuan ini juga tidak semestinya bisa dijadikan permakluman di dunia kerja.
Dengan pemahaman dan kesadaran bersama ini, maka perusahaan yang lebih akomodatif terhadap perempuan bekerja tidak akan sulit diterapkan di Indonesia. Sebaliknya, pekerja perempuan juga akan merasa memiliki tanggung jawab atas kebijakan ramah perempuan yang diterapkan kepadanya, sehingga mampu memberikan kontribusi bagi perusahaan.
Unilever, Contoh Perusahaan yang Menerapkan Kebijakan Ramah Perempuan
Meski perusahaan yang memiliki kesadaran dan menerapkan kebijakan ramah perempuan di Indonesia saat ini masih tergolong jarang, namun beberapa perusahaan multinasional di Indonesia rata-rata sudah menjalankan kebijakan ini. PT. Unilever Indonesia Tbk. adalah salah satu contoh perusahaan multinasional yang sangat memperhatikan kesejahteraan karyawannya, tidak terkecuali pekerja perempuan. Menurut Emmy Siswanto, Tim HRD PT. Unilever Tbk yang ditemui saat Sosialisasi Unilever Future Leader Program di MM UGM, 31 Maret 2011 lalu menyatakan, banyak perusahaan yang mungkin sudah merumuskan kebijakan yang ramah perempuan, namun pada kenyataannya aplikasinya tidak maksimal. Dirinya mengaku, PT. Unilever Indonesia Tbk. sangat memperhatikan fasilitas perempuan dan semua hak-hak pekerja perempuan itu sudah disepakati bersama di dalam PKB (Persetujuan Kerja Bersama). Sebagai pekerja perempuan dan juga ibu rumah tangga, Emmy sangat diuntungkan karena tempatnya bekerja menerapkan flexy hours, sehingga para orang tua tetap diberikan kesempatan untuk meluangkan waktu bagi kepentingan keluarga. “Misalnya jika anak sakit di tengah jam kerja karyawan diperbolehkan untuk ijin, atau ketika orang tua harus mengambil rapor anak di sekolah”, paparnya. Lebih lanjut Emmy mengungkapkan, PT. Unilever Indonesia Tbk. juga menerapkan kebijakan working at home dimana setiap karyawan diperbolehkan bekerja dimana saja, termasuk bekerja dari rumah dengan difasilitasi perangkat kerja dari kantor seperti laptop, modem dan telepon genggam. Selama hari kerja yakni Senin – Jumat, karyawan juga berhak untuk memanfaatkan 1 hari untuk bekerja dari rumah.
Menurut Emmy, kebijakan yang ramah perempuan semacam ini penting diterapkan oleh perusahaan karena para perempuan ini juga berperan sebagai orang tua yang memiliki kewajiban untuk mendidik anak dan berhak mendapat dukungan dari tempatnya bekerja. Lagipula, perusahaan juga menetapkan target yang wajib dipatuhi oleh karyawannya. Jadi jika target perusahaan bisa dipenuhi dengan baik, maka karyawan pun layak mendapatkan haknya.
Hal yang sama juga turut dirasakan Astri Wahyuni, Tim HRD PT. Unilever Indonesia Tbk yang saat ini mengaku masih menyusui anaknya. Astri tidak pernah merasa khawatir ketika bekerja karena perusahaan menyediakan fasilitas baby day care dan ruang menyusui yang sangat nyaman dan dikelola oleh tenaga profesional.
Josef Josef Bataona, HR Director PT. Unilever Indonesia Tbk. mengungkapkan, Program daycare atau penitipan anak yang dilengkapi kegiatan edukasi dari sekolah Langkah Ku ini rutin diadakan setiap tahun pada masa kritis, yakni dua minggu menjelang dan sesudah Idul Fitri. Meski belum permanen, program ini dinilai Josef memberikan dampak positif bagi orangtua bekerja. Karyawan menjadi lebih loyal karena merasa diperhatikan kebutuhannya oleh perusahaan, dan juga lebih produktif karena tidak khawatir meninggalkan anak saat bekerja. Dukungan dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, saat meresmikan daycare pada 31 Agustus 2010 lalu, menjadi langkah pendorong untuk mewujudkan perusahaan ramah perempuan.
Untuk menerapkan kebijakan ini memang dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan agar kebijakan yang diterapkan PT. Unilever Indonesia Tbk. ini bisa dicontoh oleh banyak perusahaan lain. Dengan dukungan dan kesadaran, maka kebutuhan perempuan bekerja akan perusahaan yang memerhatikan perannya sebagai ibu, akan lebih tersuarakan.
Kebijakan ini perlu dipahami sebagai investasi untuk mencetak karyawan yang produktif dan loyal. Jadi karyawan tenang, perusahaan pun senang. Adil bukan? (Rahma)