Saturday, April 9, 2011

E-Waste, Resiko bagi Masyarakat Modern


                                                                     
 "The greenest house is the one that never gets built."
Whit Faulconer, GreenBlue, [1989]

            Quote diatas seakan mewakili perasaan pesimistis manusia akan kehidupannya di bumi masa depan. Pesimisme dan kekhawatiran Whit Faulconer ini menjadi kian masuk akal jika melihat kondisi lingkungan yang semakin menunjukkan tanda-tanda kerusakannya.
            Kondisi lingkungan –baik hayati, sosial budaya maupun lingkungan fisik- semakin terdegradasi seiring meningkatnya jumlah penduduk di bumi ini. Kenyataannya, lingkungan sekitar kita semakin panas, sesak, dan tidak nyaman untuk ditinggali. Mau tidak mau, manusia juga turut mengambil andil untuk merasakan dampak kerusakan ini, sekaligus berpikir keras untuk bertanggungjawab atas hal ini.
Lingkungan yang asri tentu menjadi idaman setiap manusia. Lingkungan yang bersih, sehat dan nyaman adalah hak setiap insan. Namun, keinginan untuk hidup di tengah lingkungan yang bersih, sehat dan nyaman hanya sekedar harapan jika perilaku ramah lingkungan hanya di angan. Kenyataannya, manusia hidup selalu meninggalkan sampah, seperti yang pernah diungkapkan Albert W. Atwoodusan[1]Waste is a tax on the whole people”. Sampah seolah seperti pajak yang wajib dibayarkan oleh setiap manusia.
Sampah menjadi salah satu masalah yang melengkapi kompleksitas problem lingkungan yang tak pernah berujung. Karena, selagi masih ada kehidupan, produksi sampah masih akan terus berlangsung. Sayangnya, tidak semua tipe sampah yang dihasilkan di bumi ini bisa diuraikan dan ramah lingkungan. Akibatnya, beberapa tipe sampah dapat menjadi ancaman bagi kelestarian lingkungan, sekaligus ancaman menakutkan bagi kehidupan umat manusia.
Salah satu jenis sampah yang membahayakan lingkungan adalah sampah elektronik atau kerap disebut e-waste. Sampah elektronik merupakan barang elektronik yang sudah tidak di pakai kemudian dibuang, baik dalam keadaan rusak maupun  tidak rusak, seperti komputer, handphone, kulkas, mesin cuci, dan lain-lain. Sampah elektronik ini kini sedang menjadi perhatian di dunia karena jumlahnya yang terus bertambah. Greenpeace dan Achim Steiner dari UNEP Executive Director, seperti dilansir Suara Media, memperkirakan jumlah sampah elektronik secara global mencapai 36 juta metric ton per tahun[2] . Diantara jumlah yang besar ini, hampir separo berasal dari komputer bekas. Jumlah sampah dari komputer bekas juga diketahui akan melonjak empat kali lipat di tahun 2020.
Komputer merupakan salah satu barang elektronik yang memiliki tingkat regenerasi tinggi, dengan siklus hidup yang pendek jauh lebih pendek daripada kulkas ataupun mesin cuci. Orang semakin sering berganti piranti komputer seiring kemajuan teknologi yang memungkinkan barang elektronik diproduksi dengan fungsi yang semakin beragam dengan harga yang semakin terjangkau. Terlebih lagi saat ini laptop berharga murah sudah menjamur di pasar barang elektronik, sehingga semakin menggantikan posisi komputer, terutama piranti komputer yang sudah berumur tua.
Besarnya produksi sampah komputer ini juga sejalan dengan pertumbuhan penjualan personal computer (PC) dunia. Lembaga riset Gartner memperkirakan penjualan PC dunia pada tahun 2009 mencapai 298,9 juta unit. Tahun 2010 ini, penjualan PC dunia diperkirakan mencapai 336,6 juta unit[3]. Semua produk komputer ini jelas akan menjadi sampah elektronik dalam beberapa tahun ke depan.
Penjualan komputer yang terus melonjak hingga beberapa tahun mendatang akan memberikan ancaman yang lebih besar bagi negara berkembang. Pasalnya, negara berkembang menjadi sasaran negara-negara maju sebagai tempat pembuangan sampah elektronik. Negara maju seperti Amerika dan China mengirimkan sampah elektronik ke negara berkembang, termasuk Indonesia, berupa komputer bekas dengan alasan untuk bantuan kemanusiaan bagi korban bencana alam maupun pendidikan. Padahal komputer bekas tersebut usia pakainya sangat pendek. Jika dibiarkan  maka justru akan menjadi sampah elektronik yang menumpuk dan mengancam lingkungan dan kesehatan manusia. Selain itu, maraknya perdagangan dan impor peralatan elektronik bekas dan sampah elektronik di beberapa kawasan di Indonesia semakin memperburuk situasi. Di Batam misalnya, impor illegal produk elektronik bekas yang dibeli dengan harga murah masih sangat marak. Beberapa negara maju berusaha menjual barang elektronik dengan harga sangat murah. UNEP mengungkapkan bahwa China memberikan kontribusi sebesar 2,6 juta metrik ton sampah elektronik ke seluruh penjuru dunia. Sedangkan Amerika Serikat berada di urutan kedua dengan 3 juta metrik ton sampah elektronik[4].










Permasalahan sampah elektronik ini tentu harus menjadi perhatian utama pemerintah Indonesia karena dampaknya pada lingkungan cukup signifikan. Dalam satu unit komputer / PC terkandung banyak material berbahaya dan beracun yang mengancam kelestarian lingkungan, Oleh karena itu sampah komputer ini dikategorikan sebagai limbah B3 atau Bahan Beracun dan Berbahaya. Bahan beracun seperti timbal dan kadmium terdapat pada papan sirkuit, tabung monitor (cathode ray tubes/CRT), dan baterai komputer. Merkuri ditemukan dalam sakelar dan monitor layar datar, sedangkan polychlorinated biphenyls (PCB) digunakan pada kapasitor dan transformer. Kandungan brom ditemukan dalam cetakan papan rangkaian elektronik dan plastik pembungkus. Bahaya lainnya muncul dari kabel isolator polyvinyl chloride (PVC) yang ketika dibakar untuk diambil tembaganya akan mengeluarkan racun dioxin dan furan.
Sampah yang berasal dari komputer ini jelas tidak dapat disamakan dengan sampah biasa karena komponen majemuk yang terdiri dari berbagai kombinasi bahan kimia dan logam yang terangkai dalam satu unit piranti komputer ini sangat sulit diuraikan. Bahan kimia yang sangat beracun dalam berbagai bagian komponen komputer dapat mengkontaminasi tanah, air tanah, dan udara, serta masuk dalam tubuh pekerja yang menangani limbah dan komunitas yang tinggal di sekitar lokasi pengolahan limbah. Dampak kesehatan yang muncul, antara lain, adalah kanker kulit, kanker paru, kecacatan, dan menurunnya tingkat kecerdasan.
Melihat  bahaya yang ditimbulkan, satu-satunya jalan untuk menangani masalah ini adalah dengan mendaur ulang sampah elektronik tersebut. Karena sulit untuk menekan laju produksi komputer/ laptop sedangkan volume manusia makin bertambah dengan teknologi yang kian maju, sehingga kebutuhan akan barang elektronik ini juga sulit ditekan. Sayangnya, Indonesia belum mampu untuk mendaur ulang limbah komputer ini. Pendaurulangan limbah komputer memerlukan teknologi yang canggih dan tinggi serta proses yang tidak hanya sangat mahal, tetapi juga memerlukan keahlian dan pelatihan khusus dalam pengoperasiannya. Ditambah lagi, regulasi daur ulang sampah di Indonesia yang terangkum dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2008 belum memuat masalah e-waste atau sampah elektronik. Tampaknya melihat kondisi ini, problem sampah elektronik menjadi masalah serius yang harus segera ditangani di negara ini.
Kemajuan Teknologi dan Masyarakat Resiko
            Munculnya masalah sampah elektronik yang memberikan dampak signifikan bagi kerusakan lingkungan tentu tidak dapat dipisahkan dari kemajuan teknologi. Perkembangan teknologi, terutama komputer, telah menandai beralihnya gaya hidup masyarakat. Bagaimana tidak, menjamurnya masyarakat yang menggunakan komputer dan juga laptop untuk aktivitas sehari-hari merupakan suatu kebutuhan tak terpisahkan layaknya sandang dan pangan.  Tidak dapat disangkal bahwa kedepannya, masyarakat akan lebih memilih teknologi komputer untuk memanjakan hidupnya dan sebagai salah satu bagian dari gaya hidup di era digitalisasi. Pergeseran nilai budaya ini sebanding dengan maraknya teknologi yang murah, mudah, dan menjanjikan. Disamping itu, Internet juga merupakan salah satu pemicu masyarakat untuk beralih ke gaya hidup yang dilingkupi kemudahan melalui tren Teknologi Informasi.
            Perkembangan teknologi harus diakui mampu menjawab segala tuntutan kemajuan zaman. Seperti dikatakan Ulrich Albert, teknologi memang sengaja diciptakan sebagai alat untuk memudahkan kehidupan manusia, sebagai alat yang paling bisa diandalkan untuk saling mendekatkan bangsa-bangsa, untuk menunjang usaha saling kenal mereka, membantu mengatasi permasalahan dan oleh karenanya dapat mendukung pembangunan[5]. Oleh karena itu, pantas jika manusia di era digital ini sangat menggantungkan hidupnya pada teknologi, terutama komputer. Sayangnya, teknologi tidak selamanya menguntungkan. Teknologi yang mampu menghasilkan alat-alat elektronik canggih ini di sisi lain juga menyisakan masalah baru berupa sampah elektronik yang sulit diuraikan dan membahayakan lingkungan serta masyarakat di sekitarnya. Inilah yang disebut sebagai resiko kemajuan teknologi.
                Era teknologi yang menandai era masyarakat modern memang dipenuhi resiko. Manusia modern memasuki babak baru dalam modernitas lanjut (late modernity) di mana formasi sosial yang terbentuk mengalami transformasi menuju formasi sosial masyarakat resiko (risk society). Jika sebelumnya, babak klasik modernitas dikaitkan dengan masyarakat industri, dimana isu utamanya berkaitan dengan isu kekayaan dan kesejahteraan ekonomi serta bagaimana mendistribusikannya seadil mungkin. Maka pada era postmodern ini, perhatian utamanya adalah pada resiko. Era inilah yang kemudian disebut juga sebagai bentuk  reflexive modernity, proses individualisasi yang terjadi di Barat, dimana kebebasan para agen atas ketidakleluasaan structural meningkat[6] sehingga kemampuan individu untuk merefleksikan dan mengubah kondisi sosial di sekitar mereka meningkat.
Masyarakat resiko adalah masyarakat yang seluruh sendi kehidupannya dibangun di atas kesadaran akan resiko[7]. Tentu saja hal ini bukan berarti kehidupan mereka semuanya berisiko. Tapi kesadaran akan resiko dan bagaimana merespon resiko mewarnai dan mempengaruhi seluruh proses sosial mereka. Resiko menjadi sedemikian dekat dengan keseharian masyarakat bahkan tidak bisa dihindari. Resiko, selanjutnya menjadi bagian proses-proses sosial yang sedang berlangsung. Dalam masyarakat modern, resiko bahkan dapat dikatakan sebagai hasil cipta karya masyarakat sebagai efek dari perkembangan teknologi dan pengetahuan modern[8].
            Konsep resiko sendiri secara sederhana seringkali diartikan sebagai dampak atau efek bersifat destruktif yang menimpa manusia akibat terjadinya aktivitas tertentu. Beck membedakan antara resiko (risk) dan bahaya (hazard) . Resiko menurut Beck (Ibid, 1992 : 17), mengacu pada akibat yang bisa dikontrol. Sedangkan bahaya merupakan akibat yang tidak bisa dikontrol. Oleh karena itu, masayarakat modern saat ini tidak lagi memperdebatkan wujud resiko itu sendiri, melainkan bagaimana mengelola resiko agar dampaknya bisa diminimalisir demi kehidupan manusia yang lebih baik.
            Dengan bersumber dari konsep mengenai resiko di atas, munculnya problem e-waste atau sampah elektronik dapat dilihat sebagai suatu bentuk resiko atas kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi memang telah diramalkan akan menimbulkan berbagai kemungkinan akibat, termasuk di dalamnya akibat bersifat detruktif yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
            Komputer, seperti telah berkali-kali diungkapkan sebelumnya, merupakan salah satu produk kemajuan teknologi. Di satu sisi kelahiran komputer memberi manfaat bagi kemudahan hidup manusia, namun di sisi lain, lahirnya komputer juga melahirkan sebuah resiko baru, yakni bertambahnya jumlah sampah jika piranti tersebut sudah tidak digunakan lagi. Resiko dari limbah komputer ini sangat nyata dan menjadi bahaya yang secara aktif mengancam lingkungan dan kesehatan manusia. Jika mengacu pada pemikiran Giddens, maka yang demikian disebut sebagai resiko buatan (manufactured risk)[9], yaitu resiko yang muncul sebagai dampak perkembangan pengetahuan dan teknologi.
            Harus diakui bahwa perkembangan pengetahuan dan teknologi juga telah menciptakan tuntutan-tuntutan hidup baru, tuntutan masyarakat modern yang mendorong produksi dan distribusi barang elektronik secara besar-besaran, terutama yang dilakukan oleh negara maju. Jadi sesungguhnya resiko yang muncul dari produksi barang elektronik yang saat ini dirasakan bahayanya bagi lingkungan merupakan hasil produksi dari masyarakat postmodern tersebut.
            Hal ini sejalan dengan pemikiran Giddens, bahwa resiko yang muncul dalam era postmodern, dalam tingkatan yang lebih besar, memang ditimbulkan oleh sumber-sumber kesejahteraan masyarakat modern. Atau secara gamblang disebutnya bersumber dari aktivitas kapitalisme dan industrialisme.
            Negara-negara produsen barang elektronik seperti China dan Amerika juga sekaligus menjadi produsen resiko. Yang menerima resiko kerusakan lingkungan adalah negara berkembang seperti Indonesia. Ini sejalan dengan pemikiran masyarakat resiko, dimana kelas dan resiko berkaitan erat. Kelompok dengan kelas lebih rendah, yang miskin seperti Indonesia menerima beban yang lebih dari adanya resiko. Sedangkan kelompok yang kaya, dalam hal ini kaya secara ekonomi, kekuasaan, atau pendidikan, seperti Amerika justru mampu membeli keselamatan untuk bebas dari resiko tersebut.
            Dari fenomena di atas, maka secara sosiologis dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah sampah elektronik merupakan resiko yang muncul dalam kehidupan masyarakat postmodern. Seperti yang diungkapkan Giddens, bahwa modernitas adalah sebuah kebudayaan resiko[10]. Artinya resiko senantiasa mewarnai kehidupan masyarakat modern, ide dan praksisnya pun semakin mengental. Oleh karena itu, masalah sampah elektronik dapat dilihat sebagai salah satu resiko berbahaya di era modern yang akan selalu  muncul selagi kemajuan teknologi, dan aktivitas kapitalisme industrialisme masih terus menggeliat. Resiko dalam masyarakat modern akibat kemajuan teknologi semacam ini memang menjadi kemungkinan yang sulit ditebak arahnya. Namun, yang membedakannya dengan masyarakat modern klasik, masyarakat postmodern tumbuh sebagai masyarakat yang rasional. Manusia di era ini sudah mampu untuk mengendalikan alam dan tidak lagi menyandarkan sebagian besar hidupnya pada kekuatan supranatural. Artinya, masalah sampah elektronik pun seharusnya sudah bisa dilihat sebagai resiko secara lebih refleksif. Manusia postmodern mampu berpikir bagaimana resiko tersebut dapat dicegah, diminimalkan, dipantau, atau diatur. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk membiarkan lingkungan dan dirinya sendiri terancam bahaya sampah elektronik, karena sesungguhnya mereka mampu bertindak dan memikirkan cara bagaimana agar resiko akibat sampah elektronik tersebut dapat dicegah dan diminimalisir. Hanya saja semuanya membutuhkan dukungan baik secara moril maupun materiil. Semoga lingkungan yang hijau bebas dari bahaya akan menjadi rumah kita yang akan segera terwujud, entah kapan.






Daftar Pustaka
           
Beck, Ulrich. 1992. “Risk Society: Toward a New Modernity”. London : SagePublication.
Dwi Susilo, Rachmad K.2008. “Sosiologi LIngkungan”. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Mangunwijaya, Y.B. (Ed). 1983. “Teknologi dan Dampak Kebudayaannya”. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Ritzer, George. 2000. “Modern Sociological Theory”. Boston : Mc Graw Hill.


No Name. “Bagaimana Menanggulangi Limbah Elektronik yang Kian Membludak?”. Up date by 24 Febuari 2010. Archived at :
Diakses pada 6Mei 2010.
Heru. 2010. “Indonesia Sasaran Sampah Elektronik”. Update by 23 Febuari 2010. Archived at : http://www.walhi.or.id/in/ruang-media/walhi-di-media/844-indonesia-sasaran-sampah-elektronik. Diakses pada 6 Mei 2010.
Widodo. 2009. “Mencari Hikmah di Wadah Sampah”. Up date by 5 Dec 2009. Archived at : http://bataviase.co.id/content/mencari-hikmah-di-wadah-sampah. Diakses pada 6 Mei 2010.




[2] No Name. “Bagaimana Menanggulangi Limbah Elektronik yang Kian Membludak?”. Up date by 24 Febuari 2010. Archived at :
Diakses pada 6Mei 2010.
[3] Widodo. 2009. “Mencari Hikmah di Wadah Sampah”. Up date by 5 Dec 2009. Archived at : http://bataviase.co.id/content/mencari-hikmah-di-wadah-sampah. Diakses pada 6 Mei 2010.
[4] Heru. 2010. “Indonesia Sasaran Sampah Elektronik”. Update by 23 Febuari 2010. Archived at : http://www.walhi.or.id/in/ruang-media/walhi-di-media/844-indonesia-sasaran-sampah-elektronik. Diakses pada 6 Mei 2010.
[5] Ulrich, Albrecht. 1975. “Teknologi dan Bentuk Masyarakat”. dalam Y.B, Mangunwijaya (Ed). 1983. “Teknologi dan Dampak Kebudayaannya”. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
[6] Ulrich, Beck. 1992. “Risk Society: Toward a New Modernity”. London : SagePublication. Page 97.
[7] George, Ritzer. 2000. “Modern Sociological Theory”. Boston : Mc Graw Hill. Page 431.
[8] Terarsip  di http://www.kompas.com/ver/Iptek/0708/ 6/ 9 054.htm. Diakses pada 6 Mei 2010.

[9]Rachmad K, Dwi Susilo.2008. “Sosiologi LIngkungan”. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.  Page 171.
[10] Ibid, page 429.

No comments:

Post a Comment