Ungkapan bahwa seburuk apapun produk yang kita jual, semahal apapun harganya, namun jika didukung dengan pengembangan brand awareness yang bagus maka merek kita akan tetap mampu bertahan di pasar tampaknya telah banyak terbukti. Hukum ini diyakini benar berlaku sehingga banyak perusahaan yang menghabiskan begitu banyak budget iklan untuk meningkatkan brand awareness mereknya.
Brand awareness sebagai salah satu dimensi penting pembentuk ekuitas merek, jika diterjemahkan secara harfiah adalah “sadar merek”. Artinya, brand awareness merupakan aspek yang menunjukkan sejauh mana sebuah merek diingat dalam memori konsumen yang direfleksikan dari kemampuan konsumen untuk mengingat merek-merek tertentu dan mengidentifikasikan merek tersebut ke dalam kategori produk tertentu.
Kekuatan brand awerenass sebuah merk dapat dilihat dari dua tipe, yaitu brand recall dan brand recognition. Brand recall dapat dilihat dari kemampuan konsumen untuk menyebut merek ketika disebutkan kategori produk tertentu. Misalnya ketika disebutkan kategori motor, maka yang ada di benak konsumen pertama kali adalah Honda, atau ketika disebutkan kategori pasta gigi maka yang disebutkan pertama kali adalah merek Pepsodent. Merek Honda dan merek Pepsodent hampir selalu menjadi merek di urutan pertama yang diingat konsumen dalam kategori produk motor maupun pasta gigi. Artinya kedua merek tersebut telah menempati top of mind di benak konsumen. Konsumen telah mengingat di luar kepala dan sangat mengenali Pepsodent sebagai merek pasta gigi dan Honda sebagai merek sepeda motor.
Sedangkan brand recognition merupakan tahapan dimana merek mampu diingat oleh konsumen setelah merek tersebut disebutkan oleh orang lain. Misalnya setelah orang lain menyebutkan merek Smile Up, konsumen baru dapat mengingat bahwa merek Smile Up merupakan salah satu merek pasta gigi. Begitu juga ketika orang lain menyebutkan merek Kawasaki Blitz R maka konsumen baru ingat bahwa ada motor yang bermerek Kawasaki Blitz R.
Tingginya brand awareness suatu merek bahkan membuat merek tersebut menjadi satu-satunya yang diingat dan digunakan konsumen dalam menyebutkan kategori produk tertentu. Misalnya, konsumen menyebut produk pembalut wanita dengan sebutan Softex, menyebut produk air minum dalam kemasan dengan sebutan Aqua, atau menyebut produk pasta gigi dengan sebutan Odol. Ini artinya merek-merek seperti Aqua, odol dan Softex memiliki nilai brand awareness yang sangat tinggi.
Tingkat brand awareness yang sangat tinggi tentu menjadi aspek yang sangat penting bagi kelangsungan sebuah merek. Karena tingkat brand awareness ini menjadi factor yang mempengaruhi konsumen dalam tahap pembelian. Memori akan merek tertentu akan menjadi referensi bagi konsumen dalam mempengaruhi pembuatan keputusan pada tahap pembelian. Merek Viva yang merupakan merek lawas ternyata memiliki nilai penjualan lebih tinggi pada kategori lipstick dibandingkan merek Revlon pada tahun 2008[1]. Padahal kenyataannya dari segi kualitas produk, merek Viva berada di bawah merek Revlon. Namun tampaknya brand awareness merek Viva lebih tinggi sehingga Viva menempati urutan pertama di benak konsumen ketika sedang menentukan keputusan pembelian produk kosmetik. Dari fakta ini, tampaknya hukum brand awareness di awal tulisan ini benar-benar terbukti.
Selain brand awareness, dimensi lain yang membentuk nilai ekuitas merek adalah brand loyalty. Brand loyalty dapat diartikan sebagai ukuran untuk memperlihatkan tingkat kesetiaan konsumen terhadap merek sehingga merek lain tidak dipertimbangkan yang ditunjukkan dengan pengulangan pembelian oleh konsumen. Brand loyalty merupakan nilai merek yang bersifat intangible dan menetap di benak konsumen, berisi kumpulann persepsi positif mengenai merek. Setiap konsumen memiliki persepsi yang berbeda mengenai suatu merek, sehingga tingkat kesetiaan setiap konsumen pada merek tertentu pun berbeda-beda. Oleh karena itu nilai loyalitas ini sangat tergantung pada kepuasan/ketidakpuasan konsumen terhadap merek.
Konsumen yang memiliki tingkat loyalitas lebih tinggi pada umumnya akan memiliki tingkat kepuasan terhadap merek yang tinggi. Namun hubungan ini tidak berlaku sebaliknya, konsumen yang memiliki kepuasan tinggi terhadap merek belum tentu loyal terhadap merek tersebut. Misalnya seseorang memiliki persepsi positif terhadap merek sepatu sneaker KZoot, tetapi orang tersebut selalu memilih merek Converse dalam setiap pembelian sepatu. Artinya, orang tersebut adalah commited buyer yang memiliki loyalitas tinggi terhadap merek Converse. Sehingga meskipun dengan kualitas sama namun dari segi harga Converse jauh lebih mahal, namun pelanggan setia akan tetap memilih Converse karena mereka merasa memiliki nilai tambah seperti kebanggaan dan mampu mengekspresikan siapa dirinya. Oleh karena itu, brand loyalty dapat menyentuh konsumen pada aspek emosional. Brand loyalty tidak dapat dibangun semata-mata dengan mengandalkan iklan atau menambah kelebihan produk, namun harus dengan menciptakan total experience kepada konsumen sasarannya.
Pada akhirnya, nilai brand loyalty ini juga mempengaruhi konsumen dalam tahap pengambilan keputusan pembelian, yang ditunjukkan dengan konsumen yang membeli berulang kali merek tersebut, meski telah muncul merek-merek dalam kategori produk sejenis yang lebih unggul.
Referensi
No name. 2009. Merek-merek di Puncak Ekuitas. Terarsip di
http://swa.co.id/2009/07/merek-merek-di-puncak-ekuitas/. Diakses pada 27 April 2010.
[1] dalam No name. 2009. Merek-merek di Puncak Ekuitas. Terarsip di http://swa.co.id/2009/07/merek-merek-di-puncak-ekuitas/. Diakses pada 27 April 2010.
No comments:
Post a Comment