Kasus Prita Mulyasari tentu masih segar diingatan. Meski episode Prita bisa ditutup manis dengan kisah setumpuk uang koin, namun trauma para pelaku komunikasi di ranah maya jelas masih sangat membekas. Kini episode Prita berganti dengan episode Luna Maya. Serupa tapi tak sama.
Kasus perseteruan Luna Maya dengan wartawan infotainment mulai populer dan mendapat reaksi dari berbagai pihak sejak muncul wacana bahwa Luna akan dijerat dengan UU ITE, rujukan hukum yang selama ini menimbulkan kontroversi di sepanjang episode kasus ranah maya ini. Keluh kesah Luna Maya di salah satu jejaring social Twitter sebenarnya bukan hal yang begitu signifikan untuk saya perhatikan. Tapi wow..kedua kasus ini sama-sama fenomena komunikasi yang berdomain di ranah maya, dan keterlibatan UU ITE yang dianggap sebagai obat cespleng untuk menjerat para pelaku komunikasi tersebut seakan telah mencederai kebebasan komunikasi dan berekspresi di dunia maya. Maka wajar saja, kalau saya dan banyak teman-teman pelaku komunikasi dunia maya merasa terusik.
Ada banyak hal yang perlu kita cermati dalam melihat kasus Luna Maya ini. Pertama, kasus ini sangat potensial untuk muncul di ranah publik karena status Luna Maya sebagai selebritis yang punya potensi untuk dikenal orang banyak, juga karena peran media-media lain yang turut campur mempublikasikan kasus ini sehingga yang awalnya hanya kasus biasa menjadi luar biasa. Kedua, tampak adanya kegamangan dari para wartawan infotainment maupun Luna Maya sendiri dalam membedakan ruang privat dan ruang publik. Wartawan infotainment tampak tidak bisa membedakan antara ruang privat dan ruang publik. Mereka terus mendesak untuk dapat mengungkap kehidupan pribadi seorang selebriti yang memang menjadi barang yang mereka jual untuk publik. Maka wajar jika sang selebriti merasa ruang privatnya terusik. Luna pun demikian gamangnya karena kurang cerdas memahami dunia maya. Ironis memang. Tapi kita patut sadar bahwa ketika segala sesuatu disampaikan melalui jejaring sosial di dunia maya maka kita harus rela untuk berhadapan dengan publik. Ranah sosialnya pun akan menjadi sangat berbeda. Maka jika kita giat beselancar di dunia maya perlu rasanya kita mencari tahu kembali tentang batas-batas antara reality dan virtual.
Jika ditarik lagi maka persoalan ini hanyalah persoalan etika. Wartawan infotainment perlu menjaga etika kewartawanan dan menghargai ruang privat selebriti, Luna pun perlu belajar banyak bahwa dunia maya adalah dunia tanpa batas tapi bukan berarti dunia tanpa etika. Penggunaan UU ITE khususnya pasal 27 ayat 3 untuk menjerat Luna Maya rasanya terlalu gamang. Melankolis sekali memang, tapi ini faktanya. Pasal penghinaan dan pencemaran nama baik ini sangat rentan disalahgunakan hanya untuk melindungi “perasaan” seseorang ketimbang hal lainnya. Kasus ini sebenarnya adalah persoalan etika, ranahnya masyarakat sehingga bisa diselesaikan antara dua pihak yang terlibat. Menariknya ke ranah hukum rasanya adalah tindakan yang tergesa-gesa. Maka kesimpulannya adalah, wartawan infotainment kurang memahami etika, Luna Maya kurang memahami dunia maya.
Kasus ini sangat menarik perhatian saya karena persoalan “status” di jejaring sosial yang dianggap merugikan pihak tertentu pernah saya alami belakangan ini. Waktu itu saya merasa kecewa dan kesal dengan manajemen di suatu organisasi UKM yang saya ikuti. Dengan sangat gamang maka saya meluapkan emosi saya melalui status di Facebook. Hanya dalam waktu tiga jam, status yang saya pasang ini menuai puluhan comment. Padahal dalam status saya sama sekali tidak ada kata-kata kasar, selain keberanian saya menyebutkan secara langsung pihak yang saya tuju dalam status tersebut. Alhasil banyak orang yang menjadi bagian dari pihak yang saya sebutkan tersinggung dan menyudutkan saya. Meski tidak berujung di meja hijau, namun saya cukup mendapat tekanan psikologis akibat tindakan “frontal” yang saya lakukan itu. Mungkin cerita ini tidak menarik untuk disimak orang lain yang tidak paham tentang akar persoalannya. Lagi-lagi cerita saya ini jika ditarik dari unsur prominence-nya jelas kalah dengan Luna Maya. Tetapi dari kasus ini, maka muncul kekhawatiran saya, dan mungkin kekhawatiran kita bersama juga, apakah berkomunikasi di dunia maya sudah sedemikian tidak amannya? Kita tentu tidak ingin jika trauma pengekangan kebebasan berkomunikasi di era Soeharto terulang kembali. Tetapi kasus Prita, Luna Maya, dan saya seakan menjadi pertanda buruk bahwa kebebasan bermedia di dunia maya telah terusik dan terkungkung. Padahal dunia maya adalah dunia tanpa batas dimana saya menaruh harapan besar, lahirnya era dunia maya ini adalah awal lahirnya kebebasan komunikasi dan berekspresi. Tentu menjadi angin segar bagi kita semua, terutama bagi para insane pers. Namun kenyataannya dunia tanpa batas ini pun masih harus dibatasi dengan undang-undang, selain juga dibatasi etika.
Kesalahpahaman, pemaknaan sempit, tudingan pencemaran terhadap status maupun pesan-pesan di jejaring sosial saat ini seakan menjadi fenomena baru yang mewarnai era dunia maya sekarang ini. Jika saya analisis dari sisi komunikasinya, maka bentuk komunikasi yang telah berubah dari komunikasi langsung ke komunikasi yang termediasi inilah yang menyebabkan perubahan di banyak hal, termasuk akar persoalan Prita, Luna, dan saya. Ketika berkomunikasi termediasi dengan teknologi sedemikian rupa, maka kegamangan rentan terjadi. Kita lebih banyak “berbicara” melalui perantara e-mail, twitter, facebook dan messenger ketimbang menggunakan lidah dan mulut untuk menghasilkan ucapan yang terdengar. Hal demikian mengakibatkan kita kehilangan total 93% faktor penting saat berkomunikasi, menurut sebuah penelitian seorang profesor dari UCLA, yaitu 38% faktor intonasi suara dan 55% faktor bahasa tubuh. Itulah faktor bahasa non-verbal yang hilang ketika kita berkomunikasi di dunia maya saat ini. Karena hanya dengan sisa 7% bahasa verbal, maka wajar jika kita pahami bahwa apa yang sekedar terdengar atau tertulis dalam sebuah komunikasi ataupun ekspresi, bukanlah persis sesuai dengan apa yang dimaksud atau dituju oleh penyampai pesan. Komunikasi bermediasi komputer (computer-mediated communication) dan Internet, disadari atau tidak, merekonstruksi cara pemahaman orang terhadap simbol-simbol komunikasi. Kini kita lebih percaya kesahihan bahasa verbal yang tertulis di facebook, twitter ataupun e-mail ketimbang lebih dahulu mencoba mencerna konteksnya. Maka pesan terpenting yang dapat kita tangkap dari tulisan ini adalah pahami dunia maya.
No comments:
Post a Comment