“Sebenarnya brand-lah yang di beli oleh konsumen, bukan produk atau layanan, karena pada umumnya konsumen memiliki hubungan emosional yang kuat dengan “brand” dan bukan pada produk atau layanan“.
Stephen King
Quote yang dilontarkan Stephen King tersebut tampaknya cukup membuat banyak marketer menelan ludah. Mau tidak mau, kecenderungan konsumen dalam membeli sebuah produk yang sangat berorientasi pada merek saat ini membuat pernyataan Stephen King tersebut layak diiyakan. Memang tidak dipungkiri, sejak tahun 1980-an, tren marketing menjadi berubah, yang tadinya berorientasi pada produk menjadi berorientasi pada pembangunan brand.
Untuk memenangkan persaingan bisnis di era teknologi canggih ini, kualitas produk bukan lagi menjadi sebuah komoditas yang bisa dibanggakan karena setiap pelaku bisnis dapat dengan sangat mudah membuat produk berkualitas tinggi. Kualitas produk menjadi satu elemen yang dapat dengan mudah ditiru oleh competitor. Oleh karena itu, merek lah yang menjadi atribut penting yang sulit ditiru. Dan disinilah brand equity menjadi sangat penting. Perusahaan atau produk yang memiliki brand equity yang kuat cenderung lebih mudah memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen sesuai persepsi dari pelanggan, juga akan lebih mudah dalam menempatkan merek di benak pelanggan.
Munculnya konsep brand equity / ekuitas merek menjadi kian populer di kalangan marketer dunia dan diyakini sebagai pendekatan yang sangat berkontribusi dalam setiap kegiatan marketing, entah demi marketing objective apapun. Konsep Brand equity sendiri dipahami oleh banyak tokoh marketing dengan definisi yang beragam. Namun secara garis besar, brand equity dapat diartikan sebagai aset yang dimiliki merek yang dapat memberikan nilai tersendiri di benak pelanggan. Aset ini terdiri dari seperangkat asosiasi dan atribut-atribut yang melekat pada merek dengan sangat kuat yang mampu membantu pelanggan dalam menafsirkan, memproses, menyimpan informasi yang terkait dengan produk maupun merek sehingga akan menjadi fondasi ketika dalam tahap decision making pembelian.
Ekuitas sendiri merupakan sesuatu yang abstrak, kasat mata. Namun menjadi komponen yang sangat penting dan dapat diukur untuk menentukan strategi marketing sebuah produk. Jika meminjam analogi Paul Zimmerman of Procter & Gamble, ekuitas ini diibaratkan sebagai sebuah entropy dalam sebuah sistem termodinamic[1]. Entropi menjadi sebuah aset penting di alam semesta yang dapat diukur dan hasilnya menggambarkan kekurangan/ kelebihan apa yang dibutuhkan sistem. Begitu pula, ekuitas juga hanyalah konsep, namun menentukan kuat tidaknya sebuah merek di mata konsumennya.
Sebuah brand dikatakan memiliki ekuitas yang tinggi jika brand tersebut mampu menghasilkan cash flow atau pendapatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan jika tanpa adanya brand. Artinya, ekuitas sebuah merek akan menunjukkan adanya perbedaan nilai dari sebuah merek di mata konsumen dengan nilai dari sebuah produk tanpa adanya label merek tertentu.
Hubungan antara sebuah brand dengan konsumennya mengikat secara emosional. Sehingga membangun ekuitas sebuah merek agar memiliki nilai yang kuat di benak konsumen bukanlah perkara mudah. Dalam membangun brand equity ada beberapa dimensi penting yang tidak boleh kita lupakan, yaitu :
- Brand awareness
Brand awareness ini dapat dibangun dari brand knowledge. Pengetahuan mengenai sebuah merek dapat diidentifikasi misalnya melalui identitas merek. Misal, seberapa kuat warna atau simbol sebuah merek akan diingat di benak konsumen. Melalui brand knowledge ini memberikan gambaran bagi pihak perusahaan tentang seberapa kuat pengetahuan tentang merek dipahami dan diingat di benak konsumen. Jika pengetahuan ini sudah sangat kuat, maka awareness sebuah merek di mata konsumen juga sangat kuat, misalnya tampak dari recall yang kuat.
- Brand perceived quality
Ekuitas sebuah merek juga dapat dilihat dari persepsi konsumen tentang kualitas sebuah merek. Artinya, seberapa banyak persepsi positif maupun negatif yang muncul di benak konsumen tenteng merek tersebut. Semakin banyak persepsi positif yang muncul, maka posisi merek di benak konsumen akan semakin kuat
- Brand Association
Merek harus memiliki sesuatu yang unik yang mampu membuat konsumen memiliki asosiasi tentang merek sehingga ketika asosiasi tersebut sudah melekat erat maka brand secara otomatis telah menempati posisi tertentu di benak konsumen.
- Brand Loyalty
Semua tahapan itu bermuara pada dimensi yang paling tinggi, yaitu munculnya brand loyalty. Tingkat kepuasan konsumen terhadap merek membuat konsumen akan setia terhadap merek. Dan pada tahap inilah merek menjadi orientasi utama dari seorang konsumen ketika mengambil keputusan untuk membeli atau mengkonsumsi sebuah merek.
Selain itu, untuk membangun sebuah brand equity yang kuat, ada tiga faktor yang harus diperhatikan :
Menentukan elemen-elemen brand yang tepat
Elemen brand seperti logo, nama, simbol, slogan dan lainnya harus mampu merepresentasikan identitas sebuah brand yang ingin diciptakan di benak konsumen. Misalnya, identitas brand yang kuat seperti logo dan slogan yang mudah diingat, kemasan yang menarik dapat membuat konsumen dengan mudah mengenali dan me-recall brand tersebut.
Merancang strategi program marketing untuk mendukung brand
Disamping menyusun identitas brand yang bagus, brand juga harus didukung dengan mengembangkan program marketing yang tepat.
Tentukan asosiasi yang membuat brand mudah diingat dan berbeda
Point of leverage seperti company, country of origin, endorser juga menjadi elemen penting yang dapat mendukung ekuitas sebuah merek.
Ketiga factor tersebut menjadi semacam alat / tools yang dapat digunakan untuk membangun kognisi konsumen tentang merek. Jika merek sudah mampu menembus sisi kognisi konsumen, maka brand awareness dan brand association merek tersebut akan sangat kuat di benak konsumen. Konsumen tidak lagi membeli produk/ layanan berdasarkan kualitas produk/layanan tersebut, tetapi berdasarkan referensi tentang merek tertentu yang sudah terpetakan dan diingat oleh konsumen di benaknya masing-masing.
Di sinilah manfaat brand equity yang kuat menjadi sangat berperan bagi kelangsungan hidup sebuah merek di pasar. Karena ekuitas merek yang tinggi mampu menciptakan brand loyalty. Konsumen tidak lagi mempedulikan harga, kulaitas, dan bahkan fungsi produk dalam kegiatan membeli, namun produk tersebut menjadi sangat berharga bagi konsumen karena nilai merek yang telah sangat melekat di benak konsumen. Tampaknya kondisi semacam inilah yang telah digambarkan Stephen King dalam quote-nya di atas. Bagi perusahaan, brand equity yang kuat dapat memberikan outcome berupa kapitalisasi pendapatan/ cashflow yang jauh lebih tinggi karena perusahaan tidak lagi menjual produk tetapi menjual mereknya.
Sebuah merek diyakini mampu menjerat pelanggan jika bisa menciptakan kedekatan emosional antara merek dengan pelanggan. Oleh karena itu, salah satu pendekatan yang populer dalam membangun brand equity adalah pendekatan berbasis customer atau Customer Based Brand Equity (CBBE). Pendekatan CBBE penting diterapkan karena dengan memahami keinginan dan kebutuhan konsumen serta membuat konsumen puas terbukti merupakan kunci sukses dari setiap kegiatan marketing. Pembuatan strategi marketing tidak hanya memfokuskan pada pengembangan merek, tetapi juga harus focus pada customer. Menurut pandangan CBBE, customer juga merupakan aset penting perusahaan. Oleh karena itu, customer harus dimanage dengan benar agar dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan.
[1] dalam Kevin Lane, Keller. 1998. Bulding, Measuring and Managing Brand Equity. New Jersey : Prentice Hall, Inc. Page 44.
No comments:
Post a Comment